BEDAH BUKU “LITURGI MEJA TUHAN”
Sabtu, 4 maret 2006 bertempat di Gedung Gereja GKI Cinere, telah dilaksanakan acara yang cukup penting yakni bedah buku : Liturgi Meja Tuhan dengan sub judul : “Dinamika Perayaan Pelayanan” yang disusun oleh (alm) Ester Sutanto. Ada tiga ahli yang diundang dalam bedah buku itu yakni Pdt. Rasid Rachman MTh , Romo (DR)Boli Ujan, dan Pdt. Agus Wiyanto. Acara yang berlangsung pada pagi hari itu menyita perhatian sekitar 50-an Warga Jemaat dan para pelaku liturgi.
Tampil sebagai pembicara pertama Pdt. Rasid Rachman dengan menampilkan makalah berjudul “Liturgi Meja Tuhan “Buku Baru” bagi Gereja di Indonesia”. Dalam makalahnya, Rasid menegaskan bahwa ada tiga hal pokok yang menjadi ulasannya yakni :
1.Topik yang diulas adalah bukan hal baru,
2.Topik ini masih baru bagi Teologi gGereja di Indonesia,
3.Dalam karya liturgi, buku ini yang pertama kali ditulis oleh Teolog Protestan di Indonesia.
Buku “Liturgi Meja Tuhan” yang baru lalu didiskusikan memberikan suatu perspektif yang tidak sama sekali baru tetapi baru bagi gereja-gereja Protestan, demikian Rasid Rachman (Dosen luar biasa di STT Jakarta sekaligus pendeta di GKI Perumnas Tangerang yang juga mengajar mata kuliah Liturgika selama sepuluh tahun di STT Jakarta). Rasid menyatakan bahwa sebelumnya masih banyak deretan nama yang membahas topik perayaan Perjamuan Kudus seperti Monika Hellwig dalam bukuinya The Eucharist and the Hunger of The World, tahun 1976, Tisa Balasuriya menulis The Eucharist and Human Liberation (1976), Joseph Grassi Broken Bread Anbd Broken Bodies (1895), Ion Bria The liturgy after the Liturgy (1996). Di Indonesia, Greg Soetomo menuliskan buku Ekaristi dan Pembebasan dalam Konteks Masyarakat di Indonesia (2002). Fokus tema dalam buku-buku tersebut adalah makna sosial dalam Perjamuan Kudus.
Oleh sebab itu, Rasid mengatakan bahwa buku ini merupakan barang lama tetapi bukan berarti merupakan topik yang basi atau kosong. Justru sebaliknya topik yang diangkat ini menunjukkan bahwa Gereja tetap belum sadar akan kekakuannya dalam beribadah. Topik ini malah akan menjadi topik abadi. Gereja kelihatan enggan untuk memperhatikan hal ini. Mungkin ini yang menjadi masalah selama ini karena liturgi sering tidak dilihat sebagai teologi tetapi hanya sebagai sebuah upacara seremonial.
Pokok-pokok yang dibicarakan dalam bedah buku itu menunjukkan bahwa permasalahan liturgi masih sangat kompleks. Masih banyak orang salah kaprah dengan istilah liturgi itu sendiri. “Liturgi”sering dipahami sebagai sebuah lembar kertas yang mengatur tata-ibadah yang berjalan dalam ibadah. Padahal, tata ibadah hanyalah salah satu bagian dari liturgi itu sendiri. Moderator acara bedah buku itu, Billy menyatakan sebenarnya liturgi itu sendiri berarti ‘kerja orang banyak’ atau ‘kerja umat’. Pengertian itu digali dari Kitab Suci sendiri yang menafsirkan istilah liturgi itu sangat luas maknanya tidak hanya berarti Tata Ibadah tetapi Hidup itu sendiri. Salah kaprah seperti inilah yang sering membuat kita salah menangkap arti yang dinginkan oleh ilmu liturgi itu sendiri.
Berkomentar mengenai perkembangan liturgi, Rasid menyatakan bahwa sebenarnya pembaharuan Liturgi sendiri telah sejak lama terjadi sejak Konsili Vatikan II (1963-1964). Gereja-gereja terutama Roma Katolik telah memperbaiki dan menyusun ulang tata- ibadah mereka. Liturgi dibuat lebih banyak melibatkan umat dan maknanya semakin ditekan bahwa bukan hanya sebuah seremonial tetapi lebih pada makna bahwa liturgi itu adalah perayaan kehidupan.
Rasid mengatakan bahhwa gereja-gereja protestan di Indonesia sering mengutamakan isi daripada kemasan. Padahal kemasan sendiri penting. Sebuah ibadah yang tidak diramu dan dikemas dengan baik akan memberi kesan “apa adanya”. Seringkali sebuah ibadah tidak dipersiapkan dengan baik dan cenderung seadanya. Beberapa gereja yang menyadari hal ini kini mulai menata sedikit demi sedikit ibadah mereka sehingga terkesan anggun dan menarik untuk diikuti, terutama Gereja Kristen Indonesia (GKI).
Liturgi sendiri menurut Rasid harus mendarat dalam kehidupan sehari-hari. Jika orang beribadahnya sudah bagus tetapi korupsi masih jalan dan permusuhan masih dilakukan maka pasti ada sesuatu yang salah dalam ibadahnya. Ibadah seharusnya membentuk prilaku sesorang sesuai dengan kitab suci.
Rasid juga mengatakan bahwa buku ini adalah buku pertama dari Teolog Protestan yang kebetulan penulisnya mempunyai latar belakang sebagai seorang awam, sebelum belajar teologi di STT-Jakarta. Ester sendiri memiliki latar belakang sebagai seorang arsitek. Kecintaannya pada ilmu liturgi menghantarkannya ke STT Jakarta dan menjadikan buku ini semakin bermakna karena beliau sendiri adalah seorang pelaku liturgi yang sangat aktif.
Sementara itu, DR.Boli Ujan yang biasa dipanggil Romo itu, menyatakan bahwa sebaiknya liturgi itu memang harus disiapkan sebelum dilaksanan dan sesudahnya juga harus dilakukan dengan baik sehingga muncul satu istilah baru yang diangkat Romo dalam diskusi ini yakni “Liturgy Before and After Liturgy” . Istilah ini menjadi istilah kunci baginya ini digunakannya untuk menjelaskan bahwa liturgi itu harus dipersiapkan dengan baik oleh para pelaku liturgi secara optimal.
Dalam uraiannya, Romo juga sangat mengaggumi pandangan dan studi yang dibuat oleh Ester. Ia menyatakan bahwa sebenarnya ia sendiri ingin membuat buku sejenis. Namun, sampai saat ini ia belum sempat membuatnya. “Buku Ester ini telah membuat saya banyak belajar”, kata Romo yang juga mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat di Jakarta ini dan STT-Jakarta ini.
Romo juga mengaggumi cara Ester mengungkapkan makna Perjamuan Kudus yakni dengan mengungkapkan kata kunci yang Yesus ucapkan sendiri sewaktu mengambil roti, cawan, anggur, mengucap syukur, memecah-mecahkannya, dan membagikannya. Romo juga menegaskan bahwa ia memandang bahwa Perjamuan Kudus itu adalah simbol pujian dan bukan lagi hanya meminta. Simbol ucapan syukur yang ditujukan kepada Allah.
Dalam kesempatan itu juga, Pdt.Agus Wiyanto, seorang ahli dari bidang Pembagunan Jemaat melihat pendekatan yang dilakukan Ester dalam mengembangkan liturginya dari luar buku ini sendiri. Agus Wiyanto lebih menekankan bahwa apa yang dibuat oleh Ester telah memberikan sumbangan yang berarti bagi Pembangunan Jemaat. Memang apa yang diungkapkan oleh Agus lebih meluas ke aspek di luar buku itu sendiri. Ia lebih menekankan sosok Ester yang berjuang dalam melakukan dan memperbahurui Liturgi. Ada dua kata yang sering ditekankan oleh Agus dalam mengenang Ester. “Jika ia mencoba sesuatu selalu Ester berucap, ‘Kita coba aja...’ dan jika apa yang sudah dibuat tidak menghasilkan apa-apa, maka menurut Agus, Ester akan berkata, ”Ya begitulah Jemaat....”
Diskusi kemudian meluas ke arah-arah lainnya di luar Buku yang sedang dibahas. Pertanyaan-pertanyaan jemaat justru berkembang lebih jauh dan tidak lagi hanya berfokus pada isi buku yang sedang dibedah. Pertanyan-pertanyaan yang meluas ini menunjukkan betapa Jemaat maupun para pelaku Liturgi seringkali tidak memahami persis apa yang mereka lakukan dalam berolah liturgi. Liturgi sepertinya dipahami hanya sebatas tata ibadah saja. Banyak pertanyaan-pertanyaan praktis yang muncul dari kalangan anggota Jemaat. Topik utama dalam Perjamuan Kudus seringkali dilupakan. Beruntung sekali Rasid Rachman selalu mengarahkan pertanyaan itu dengan mengaitkannya dengan buku yang sedang dibedah. Demikian pula Romo senantiasa memberi pengertian mengenai makna sesungguhnya liturgi sehingga peserta sering tersenyum-senyum saat pertanyaan mereka dijawab karena merasa banyak yang salah saat mereka melakukan praktik liturgi selama ini. Rasid menegaskan bahwa Gereja-gereja Protestan banyak menghilangkan unsur simbol dan tata gerak dalam liturgi ibadahnya sehingga ibadah Protestan cenderung kering dan hanya didominasi oleh kotbah saja.
Hal yang paling menonjol dalam pertanyaan yang dilontarkan saat diskusi tersebut yakni ketika salah seorang peserta menyinggung bahwa banyak anggta jemaat yang ikut merayakan Perjamuan Kudus tanpa persiapan. Banyak diantara mereka belum “hidupnya belum benar”,sebagian masih membenci saudaranya. Rasid menjelaskan bahwa hal itu menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam ibadahnya. Seharusnya ibadah itu akan membuat orang semakin baik dan menghayati Tuhan. Tuhan menjadi pusat kehidupannya dan ibadah itu mempergaruhi prilaku seseorang. Seseorang yang rajin beribadah seharusnya menjadi semakin baik.
Menjelang berakhirnya acara, Pdt.Ioanes menjelaskan bagian depan buku yang mencantumkan gambar Perjamuan Kudus dalam Tradisi Yahudi. Gambar tersebut menunjukkan bahwa dalam tradisi Yahudi, Perjamuan Kudus melibatkan anak-anak dan perempuan. Perempuan dan anak-anak menjasi bagian persekutuan dalam Perjamuan Kudus dalam gambar itu.
Sayang sekali acara tersebut hanya dihadiri oleh kalangan GKI Cinere dan sekitarnya serta beberapa pelaku liturgi ditambah dengan sebagian kecil pemerhati yang menyukai liturgi. Padahal, acara ini telah dipersiapkan dengan baik oleh beberapa mahasiswa STT Jakarta dengan motor utamanya Unit Penerbitan STT Jakarta.
Hal ini sangat disayangkan. Buku ini sendiri telah memberikan sumbangan yang besar bagi teologi dan khususnya pembaharuan liturgi di Indonesia tetapi seperti halnya Liturgi kurang diminati demikian juga bedah buku ini sepertinya kurang diminati juga. Buku ini jmuga sangat membantu bagi Jemaat untuk memahami sejarah dan makna sosial Perjamuan Kudus.
Panitia penyelenggara yang kebetulan bersama-sama dengan penulis memberikan komentar bahwa sedikit peserta yang handir disebabkan tempat penyelenggaraan yang cukup jauh dan tidak terlalu dikenal oleh sebagian anggota jemaat serta kalangan teolog. Oleh sebab itu, mereka berencana akan mengadakan hal serupa di tempat yang lebih strategis. Mungkin sekali akan diadakan di STT Jakarta. Kita tunggu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar